Pertanyaan ini saya utarakan pada orang tua saat masih usia anak. Saya memiliki beberapa sepupu yang usianya sebaya dan lebih muda tapi wajib memanggil dengan sebutan mbak/mas. Saya merasa keberatan, saya juga merasa lebih "kota", lebih gaul, dan lebih update terhadap informasi pada masanya. Hati kecil saya benar-benar melawan.
Yah itu lah hierarki pada keluarga kami. Keluarga jawa yang ada di kelas menengah, bukan ningrat. Tiap lebaran, kami sungkem mulai dari Mbah yang paling tua sampai ke bude dan pakde juga sepupu-sepupu. Orang tua saya adalah pasangan anak yang paling buncit. Saya semakin nggak terima karena nggak ada tuh yang panggil saya dengan sebutan Mbak.
Tertanam rasa gila hormat sejak dini pada diri saya. Dari melihat cara silaturahmi kakak-kakaknya orang tua yang mengakar sejak mereka belum lahir mungkin. Tradisi leluhur yang dilestarikan dengan kaku dan gengsi?
Menikah dengan keluarga sunda tulen namun ada perbedaan cara hidup dengan sebagian besar orang sunda lainnya. Terpercik rasa nyaman dan tenang walau dalam pikiran saya masih ada benturan-benturan dengan tradisi yang diajarkan dengan orang tua saya. Alhamdulillah saya menikah dengan anak bungsu juga tapi rasa gila hormat pada diri saya perlahan memudar walau belum habis sepenuhnya.
Keluh kesah anak ragil yang sering digaungkan orang tua saya, jauh berbeda dari yang dikisahkan suami. Ternyata kita memang tidak bisa menyamaratakan keadaan, sama bungsunya belum tentu sama nasibnya. Dekat jaraknya belum tentu tulus kasih sayangnya. Jauh lebih baik mungkin.
Lain lagi cerita tentang saya yang merasa aneh ketika memperkenalkan kakak sepupu ke anak sendiri, karena mereka minta dipanggil sesuai nama panggilan mereka pada anaknya sendiri. O o o... apakah ini yang disebut kebarat-baratan dan tidak lagi mau mengakui panggilan sesuai tradisi. Njelimet ya beragam suku bangsa dan tradisi itu. Di satu sisi bangga di sisi lain...
Tak ada kesimpulan pada paragraf panjang ini.
Yah itu lah hierarki pada keluarga kami. Keluarga jawa yang ada di kelas menengah, bukan ningrat. Tiap lebaran, kami sungkem mulai dari Mbah yang paling tua sampai ke bude dan pakde juga sepupu-sepupu. Orang tua saya adalah pasangan anak yang paling buncit. Saya semakin nggak terima karena nggak ada tuh yang panggil saya dengan sebutan Mbak.
Tertanam rasa gila hormat sejak dini pada diri saya. Dari melihat cara silaturahmi kakak-kakaknya orang tua yang mengakar sejak mereka belum lahir mungkin. Tradisi leluhur yang dilestarikan dengan kaku dan gengsi?
Menikah dengan keluarga sunda tulen namun ada perbedaan cara hidup dengan sebagian besar orang sunda lainnya. Terpercik rasa nyaman dan tenang walau dalam pikiran saya masih ada benturan-benturan dengan tradisi yang diajarkan dengan orang tua saya. Alhamdulillah saya menikah dengan anak bungsu juga tapi rasa gila hormat pada diri saya perlahan memudar walau belum habis sepenuhnya.
Keluh kesah anak ragil yang sering digaungkan orang tua saya, jauh berbeda dari yang dikisahkan suami. Ternyata kita memang tidak bisa menyamaratakan keadaan, sama bungsunya belum tentu sama nasibnya. Dekat jaraknya belum tentu tulus kasih sayangnya. Jauh lebih baik mungkin.
Lain lagi cerita tentang saya yang merasa aneh ketika memperkenalkan kakak sepupu ke anak sendiri, karena mereka minta dipanggil sesuai nama panggilan mereka pada anaknya sendiri. O o o... apakah ini yang disebut kebarat-baratan dan tidak lagi mau mengakui panggilan sesuai tradisi. Njelimet ya beragam suku bangsa dan tradisi itu. Di satu sisi bangga di sisi lain...
Tak ada kesimpulan pada paragraf panjang ini.
Tulisan yang ngangenin dari seorang blogger, hahaha
BalasHapusTapi dibuat kentang sama tulisannya. Kzl.
Gw liatnya kok bukan karena gila hormat ya pen, tp lebih ke pemberontakan karena merasa di kasta terbawah. :D
Hahaha iya kali ya, perasaan direndahkan lewat panggilan mungkin lebih tepatnya
Hapus