Jika seni hanyalah sebuah puisi.
Jelas, aku sudah menitinya sejak dulu.
Jauh sebelum goresan tanganku ku sebar pada mata-mata maya.
Jika seni adalah petikan dawai gitar.
Tentu, aku sudah melakukannya sebelum engkau.
Dulu sebelum kau lahir dan membagikan kunci-kunci gitar masa kini, saat aku masih tertatih belajar membacanya di majalah musik masa itu.
Jika seni sekadar bernyanyi.
Sudah pasti aku yang jadi juaranya.
Cermin-cermin dalam rumah orang tuaku tau pasti itu.
Jika seni merupakan sebuah pujian dan kebanggaan.
Kebahagiaan itu pernah ku raih di masa lampau.
Saat buku tulis bersampul 'Cinta Rasul' menjadi imbalannya.
Jika seni termasuk dalam kolom pekerjaan.
Terdengar gelak tawaku dari kejauhan yang membayangkan seorang penabuh gendang diakui negara dalam selembar kartu keluarga. Bukan aku pesimis, atau bahkan takut tak laris. Tapi kata seniman dalam kolom pekerjaan, terasa asing di telingaku yang awam.
Seniman, begitu seorang pelaku seni disebut. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), seniman adalah orang yang mempunyai bakat seni dan berhasil menciptakan dan menggelarkan karya seni (pelukis, penyair, penyanyi, dan sebagainya). Sama halnya dengan bidang lain, seni bisa dipelajari hingga perguruan tinggi.
Saya yakin dalam jiwa seseorang tetap ada seni yang mengalir di dalamnya. Seni ukir, seni tulisan kaligrafi, seni lukis, dan bentuk kesenian lainnya yang bisa menyeimbangkan kehidupan seseorang. Allah SWT menciptakan manusia dengan otak kiri dan kanan. Otak kiri berfungsi untuk menganalisis, berpikir logis, hal-hal tentang pengetahuan. Sementara otak kanan berfungsi untuk berkreasi, berimajinasi, seni, dan tentu saja kontrol atas tangan kiri. Saling melengkapi dan saling menyeimbangkan, begitulah seni hadir dalam kehidupan kita.
Dalam banyak catatan karya seni saya yang kadang dicibir orang. Ada beberapa penghargaan yang saya raih sejak usia dini. Siapa sangka, perempuan ini dulu juara tiga lomba kaligrafi, juara satu lomba puisi yang berjudul azan, mewakili kecamatan untuk lomba puisi tingkat kabupaten. Sayang sungguh sayang, jerih payahnya tak dilihat orang bahkan yang paling dekat. Habis sudah energi masa kecilnya untuk membuktikan bahwa ada bakat yang bisa dikepakkan 'ketimbang' menari jaipong memamerkan pesolek lemah gemulai bahkan disawer orang. Yah, harapan kita ada di level yang berbeda.
Bakat itupun terkubur hidup-hidup. Tanpa ada yang tau bahwa mungkin aku sangat cocok jadi mahasiswi IKJ.