Sharing time Indonesian Content Creator dalam rangka One Day One Post (ODOP) semalam mempertemukan kami dengan penulis novel Hilda dan Cinta Dalam Mimpi, Mbak Muyassaroh Hafidzoh. Sebelum memulai sharingnya, Mbak Muyas mengajak kami untuk merespon dengan sebuah kata untuk cerita fiksi yang beliau bagikan. Hingga sampai pada kesimpulan alam bawah sadar sebagian besar orang, sementara saya memilih untuk netral alias tidak menjawab. Saya masih berusaha mencerna dalam sharing yang akan didiskusikan kali ini karena bila melihat tema-tema sebelumnya memang agak sulit saya pribadi untuk menarik benang merahnya. Namun, siapa sih yang nggak mau jadi penulis yang menerbitkan sebuah buku? Yang satu ini adalah salah satu mimpi saya sejak dulu walau belum tau kapan merealisasikannya.
Mbak Muyas menulis buku yang bersinggungan dengan kekerasan seksual. Dalam hal ini tentu peran keluarga sangat penting untuk mendukung dan mendampingi korban-korban kekerasan seksual yang seringnya tidak mendapat keadilan. Sebuah hal bisa dinyatakan termasuk kekerasan seksual itu bila ada unsur paksaan dan ancaman pada korban. Namun sebagian besar kasus kekerasan seksual amat sangat merugikan korban yang biasanya perempuan. Tidak menutup kemungkinan laki-laki pun mendapatkan kekerasan seksual dan tentu saja memilih menutup rapat perihal kekerasan seksual ini karena itu aib. Orang-orang yang berani bersuara biasanya tidak dipercaya, dikucilkan, diasingkan, dikeluarkan dari sekolah, hingga dipaksa menggugurkan kandungan, bahkan oleh orang tuanya sendiri.
Pembahasan semalam mengorek luka lama perihal kasus-kasus kekerasan seksual yang pernah juga saya dengar dari cerita nyata pejuang-pejuang lain. Pembahasan terkait ini tak akan berkesudahan karena benar-benar bisa sampai menyulut emosi, belum lagi pembahasan tentang kekerasan seksual pada anak-anak. Pedih hati ini rasanya saat mendengar berita-berita di layar kaca maupun pada layar gawai. Sebagai perempuan yang pernah menjadi anak-anak dan sekarang memiliki anak, sulit membayangkan ada di posisi korban. Kekerasan seksual yang dilakukan di tempat sepi, dilakukan pada wanita-wanita berpakaian rapi, dilakukan saat korban tak sadarkan diri, dan berbagai cara lain yang bikin mata, kuping, dan hati rasanya ikut tercabik-cabik.
Adakah pelaku kekerasan seksual berpikir bagaimana nasib korbannya? Bagaimana orang-orang yang membesarkan korban akan sangat terpukul? Bagaimana bila itu terjadi pada dirinya sendiri atau saudara kandungnya? Gelap mata. Saya rasa tak ada lagi celah untuk berpikir jernih jika kekerasan seksual sudah terjadi. Lantas? Apa kita memang harus diam saja membiarkan hal ini bila ada di sekitar kita? Mbak Muyas menyarankan untuk meminta bantuan pada lembaga bantuan hukum terdekat yang fokus pada kasus kekerasan seksual. Saya yakin kondisi korban pasti terpukul dan butuh waktu untuk menyelesaikan kasus kekerasan seksual. Belum lagi beban psikologis yang membuat maju-mundur.
Mungkin teman-teman ingat juga ya kasus yang sempat viral, Amy Fitria, beliau memiliki bukti CCTV bahkan sampai terluka karena pelaku namun itu tidak bisa menjadi bukti yang kuat untuk kasus kekerasan seksual. Setahun mengalami trauma sampai akhirnya beliau menceritakan kasusnya pada instagram pribadi. Walau harapan saya pribadi untuk keadilan penegakan hukum di Indonesia sangat tipis dan meragukan tapi mudah-mudahan suatu hari nanti ada hari dimana kita semua bisa bernafas lega karena keadilan di bumi sudah bisa ditegakkan.