Masa Lalu
Hari-hari di masa lalu saya itu baik menurut saya karena terbiasa dengan berbagai hal yang ternyata berbeda drastis dengan apa yang suami saya alami. Dari tahun ke tahun pernikahan saya semakin banyak belajar, ternyata apa yang terjadi di masa-masa saya hidup bersama orang tua saya termasuk toxic relationship. Hubungan antara orang tua dan anak yang tidak sehat ini berdampak besar pada kehidupan saya setelah menikah.
Masa Kini
Hari ini saya mendapati diri saya sudah tak lagi menangis saat membicarakan hal yang serius bersama suami. Alhamdulillah, saya merasa salah satu trauma kecil di masa lalu saya yang secara tidak langsung pada saat itu saya tidak diperbolehkan menangis di rumah kini "terbayar" tuntas. Saya mulai bisa mengendalikan emosi kapan saya harus menangis, kapan saya harus berbicara serius tapi tidak menangis, dan kapan saya harus marah besar. Ini bukan hal yang sepele ya teman-teman, terlebih lagi sejak kecil saya tidak terbiasa untuk mengutarakan pendapat karena hal itu sama saja dengan membantah orang tua. Segala keputusan dan beberapa perilaku terlihat selalu salah di mata orang tua.
Oke sampai disini apa ada yang memiliki pengalaman serupa? tenang... kamu nggak sendirian ya. Kita punya Sang Maha Besar. Lebih Besar dari segala ujian kehidupan yang membuat kita hidup sampai hari ini.
Dalam sebuah jurnal yang saya baca, pelaku toxic relationship itu memang bukan pacar saja, tapi keluarga inti yang terdiri dari ayah-ibu-kakak-adik bisa membangun toxic relationship. Kekerasan verbal, pengabaian, sangat mempengaruhi kesehatan mental. Alhamdulillah saat ini saya melihat sudah banyak sekali yang sadar bahwa kesehatan mental itu penting, support system terbaik untuk mendampingi korban-korban dari sebuah toxic relationship memang betul-betul diperhatikan dengan baik. Agar trauma yang terjadi tidak terlambat untuk 'diobati'.
Di jurnal lainnya saya setuju bahwa toxic parenting anak dalam keluarga harus dihindari karena berbahaya untuk masa depan anak. Hal ini terjadi pada masa awal saya melahirkan, tuntutan demi tuntutan pada diri sendiri dan juga suami menguras habis energi saya yang tidak ingin anak saya kelak merasakan apa yang saya alami di masa lalu dan baru terkupas tuntas setelah menikah. Keluarga, terutama ibu, adalah madrasah utama bagi anak. Proses pembentukan tingkah laku seperti saya yang tidak bisa mengutarakan pendapat dalam hal serius kepada suami dengan tidak menangis adalah sebuah masalah besar di awal pernikahan kami.
Sekarang saya berusaha dan terus belajar tentunya dengan terus berpegangan pada Sang Maha, untuk memberikan pola asuh yang sehat. Harapannya anak saya bisa tumbuh dan berkembang menjadi pribadi yang sehat jiwa dan raganya,
Terimakasih sudah membaca hingga tuntas, saya bukan tenaga kesehatan tapi saya adalah pasien. Mari nyalakan terus semangat untuk terus bertahan hidup, walau sekadar berharap besok masih bisa makan mi ayam langganan itu termasuk kebahagiaan kecil yang patut kita rayakan.
Referensi:
- Toxic Relationship dalam Komunikasi Interpersonal di Kalangan Remaja oleh Novi Andayani Praptiningsih dan Gilang Kumari Putra. Communication Department, Social and Political Science Faculty, University of Muhammadiyah Prof. Dr. HAMKA (UHAMKA) Jakarta. (Oktober 2021) https://scholar.archive.org/work/qd7a6zsw2vfkldzr2lsa6x6jau/access/wayback/https://journal.budiluhur.ac.id/index.php/comm/article/download/1510/pdf_19
- Karakteristik Toxic Parenting Anak dalam Keluarga oleh Rianti dan Ahmad Dahlan. Pendidikan Islam Anak Usia Dini, Tarbiyah, STITNU Al Farabi, Pangandaran, Indonesia. DIAJAR: Jurnal Pendidikan dan Pembelajaran Vol. 1 No. 2 (April 2022) 190-196, https://journal.yp3a.org/index.php/diajar/article/view/742/363
yes... dengan kita bernapas saja, itu sudah sebuah kebahagiaan..
BalasHapuspanjang umur upaya-upaya baik 😊
❤ ❤ ❤
BalasHapus