Perjalanan Merawat Kesehatan Mental

Beberapa bulan yang lalu, saya menghadiri talkshow di sebuah toko buku ternama yang mengundang salah satu psikiater yang tak kalah terkenal. Kala itu, saya baru mengetahui bahwa beliau mempunyai buku yang berkualitas untuk membersamai perjalanan merawat kesehatan mental saya. Sejujurnya, saya datang seorang diri saja dan berbaur dengan yang lain karena sebuah pertanyaan yang menurut saya cukup besar. 


Selesai sang psikiater bicara, saya memberanikan diri untuk mengajukan pertanyaan. Sambil menahan malu dan air mata, entahlah pada waktu itu rasanya ada sedikit perasaan bahwa pertanyaan saya mungkin akan terdengar bodoh untuk sebagian orang atau mungkin itu hanya perasaan saya saja. Sampai pada akhirnya saya mendapatkan jawaban yang cukup menenangkan langsung dari pakarnya. Untuk ke sekian kalinya saya merasa tidak sendiri, karena begitu banyak pertanyaan-pertanyaan dari pengunjung lain yang membuat saya tak kuasa menahan air mata. Hari itu menjadi hari yang benar-benar menguras batin, karena keadaan di rumah pun tidak baik-baik saja. 

Baca: Psikolog BPJS Bogor

Dari hari ke hari buku Merawat Luka Batin tergeletak begitu saja di meja. Enam bulan setelahnya barulah saya sanggup menuntaskan walaupun diselingi membaca sepintas. "Luka batin itu apa?", tanya buah hati saya pada suatu hari saat melihat judul buku bersampul kuning itu. Dia baru bisa belajar membaca, saya pun berusaha menyederhanakan luka batin sebagai luka yang kita tak bisa melihatnya. Dia pun terdiam lantas melanjutkan kembali aktivitasnya. 

Sama dengan fisik, batin kita pun perlu dirawat dengan baik. Terlebih lagi kondisi batin juga tak nampak oleh mata. Tak terlihat kucuran deras darah yang mengalir saat batin kita terluka. Mungkin pada akhirnya hanya bisa 'ngebatin' tanpa tau apa obatnya. 

Dari halaman ke halaman, saya seperti sedang mendengar nasehat-nasehat dari suami. Walaupun beliau belum pernah baca buku itu, namun sudah melalui berbagai hal yang tercantum di dalamnya dan Alhamdulillah berhasil bangkit. Saya pun merasa buku dari dr. Jiemi Ardian ini semakin memperjelas hal-hal yang pernah orang lain katakan selama perjalanan merawat kesehatan mental saya. Termasuk ucapan-ucapan orang tua saya yang tidak berdasarkan teori apapun.

Baca: Toxic Parenting

Sekarang saya berusaha untuk terus sadar dan bergerak melalui hari demi hari. Pikiran hanyalah pikiran, bisa kita lewati dan abaikan. Semoga tidak muncul lagi kebiasaan-kebiasaan yang membuat saya overthinking. Berbagai perasaan yang hadir dalam hidup saya pun tak perlu lagi sekuat tenaga saya hindari. Cukup saya ijinkan perasaan-perasaan itu hadir, saya rasakan, kemudian lepaskan energi negatifnya. Pola pikir negatif memang mudah sekali mempengaruhi kita, seperti saya yang lebih mudah mengingat keburukan orang lain dibandingkan kebaikan-kebaikannya. Semangat untuk terus berproses!

Baca: Buku Nenek Hebat dari Saga

Buku kedua yang berhasil saya tamatkan jelang akhir tahun, semoga masih bisa menuntaskan satu buku lagi dan berhasil mengambil pesan moral di dalamnya. Tapi nggak janji ya XD



1 Komentar

thank you for stopping by dear, your comment will create happiness :)

Lebih baru Lebih lama